Dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan Radhiyallahu anhu ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 2999 (64); Ahmad, VI/16; Ad-Darimi, II/318 dan Ibnu Hibban (no. 2885, at-Ta’lîqatul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibbân).
KOSA KATA HADITS
- عَجَبًا : Menakjubkan sekali. Setiap manusia akan kagum atau heran jika melihat sesuatu yang luar biasa dan tidak masuk akal.
- السَّرَّاءُ : Kegembiraan, yaitu sesuatu yang menyenangkan dirinya.
- الضَّرَّاءُ : Kesusahan, yaitu sesuatu yang membahayakan atau menimpa badannya. Termasuk juga (segala sesuatu yang buruk) yang berkenaan (menimpa) keluarga, anak, dan hartanya.[1]
SYARAH HADITS
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ
Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak menetapkan sesuatu, baik itu taqdir kauni atau syar’i, melainkan di dalamnya terkandung kebaikan dan rahmat bagi para hamba-Nya. Di dalam cobaan, ujian, musibah, petaka, kesulitan, kefakiran, penyakit, dan kematian, semua ini terkandung hikmah yang amat besar yang tidak mungkin bisa dinalar oleh akal manusia.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Andai kata kita bisa menggali hikmah Allâh Azza wa Jalla yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun, akal kita sangat terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit, dan ilmu semua makhluk akan sia-sia (tidak ada artinya) jika dibandingkan dengan ilmu Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana sinar lampu yang sia-sia (tidak ada artinya) di bawah sinar matahari. Dan ini pun hanya gambaran saja, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini.”[2]
Berbagai cobaan, ujian, penderitaan, penyakit, kesulitan, dan kesengsaraan mempunyai manfaat dan hikmah yang sangat banyak.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya
Allâh Azza wa Jalla menciptakan makhluk-Nya untuk memberikan cobaan dan ujian, lalu Dia menuntut konsekuensi dari kesenangan, yaitu bersyukur dan konsekuensi dari kesusahan, yaitu sabar.
Jika seseorang benar-benar beriman, maka segala urusannya merupakan kebaikan. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur dan ketika susah, ia bersabar.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allâh supaya kamu beruntung. [Ali ‘Imran/3:200][3]
Orang-orang yang sabar lagi bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla , Dia Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya petunjuk di dunia dan di akhirat.
Menurut para Ulama, “Iman itu ada dua bagian, sebagian adalah sabar dan sebagian lagi adalah syukur.” Para Ulama salaf berkata, “Sabar adalah sebagian dari iman.” Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan sabar dan syukur dalam al-Qur’an, yaitu dalam firman-Nya:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh) bagi orang yang selalu bersabar dan banyak bersyukur. [Asy-Syûrâ/42:33][4]
Iman dibangun atas dua rukun, yaitu yakin dan sabar. Dua rukun ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar dan mereka meyakini ayat-ayat Kami. [As-Sajdah/32:24]
Dengan keyakinan, seseorang akan tahu hakikat perintah dan larangan, ganjaran dan siksaan. Dan dengan kesabaran ia bisa melaksanakan perintah-Nya dan menahan diri dari semua larangan-Nya.[5]
Sabar dibagi menjadi tiga macam:
- Sabar dalam melaksanakan perintah dan ketaatan.
- Sabar dalam menahan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.
- Sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian yang pahit.[6]
Syukur adalah pangkal iman, dan dibangun di atas tiga rukun:
- Pengakuan hati bahwa semua nikmat Allâh yang dikaruniakan kepadanya dan kepada orang lain, pada hakekatnya semua dari Allâh Azza wa Jalla .
- Menampakkan nikmat tersebut dan menyanjung Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat-nikmat itu.
- Menggunakan nikmat itu untuk taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan beribadah dengan benar hanya kepada-Nya. Wallâhu a’lam.[7]
Sabar dan syukur merupakan faktor penyebab bagi pelakunya untuk dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat Allâh. Karena iman dibangun di atas sabar dan syukur. Sesungguhnya pangkal syukur adalah tauhid dan pangkal sabar adalah meninggalkan hawa nafsu.[8]
Banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa musibah, penderitaan, penyakit serta kematian itu merupakan hal yang lazim bagi manusia. Dan semua itu pasti akan menimpa mereka, untuk mewujudkan peribadahan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. [Al-Baqarah/2: 155]
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴿١٥٦﴾ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn (Sesungguhnya kami milik Allâh dan kepada-Nyalah kami kembali)’. Mereka itulah yang memperoleh shalawat dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-Baqarah/2:156-157]
Mengenai firman Allâh Azza wa Jalla :
مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ
Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan …” [Al-Baqarah/2: 214]
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Cobaan itu berupa penyakit, penderitaan, musibah, dan bencana.”[9]
FAWA’ID HADITS
- Kebaikan dan keburukan sudah ditakdirkan oleh Allâh Azza wa Jalla .
- Wajib beriman kepada takdir baik dan buruk.
- Seorang Muslim wajib mensyukuri semua nikmat yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan kepadanya. Nikmat-nikmat Allâh Azza wa Jalla kepada kita tidak akan dapat kita hitung.
- Syukur kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
- Kalau kita berpikir dengan akal yang waras dan hati yang sadar, maka kita mendapati bahwa diri kita pada hakikatnya belum bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenarnya.
- Orang Mukmin yang sempurna keimanannya dan tulus keyakinannya akan senantiasa bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ketika merasakan kegembiraan.
- Seorang Mukmin harus senantiasa memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala agar menjadi hamba yang selalu bersyukur kepada-Nya.
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu sebuah do’a yang selalu dibaca di akhir shalat yang wajib:
اَللهم أَعِنِّيْ عَلَىٰ ذِكْرِكَ ، وَشُكْرِكَ ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
Ya Allâh, tolonglah aku untuk dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.[27]
- Seorang Mukmin wajib bersabar dalam melaksanakan ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
- Hidup ini merupakan cobaan dan ujian. Maka konsekuensi dari segala macam cobaan dan ujian adalah sabar.
- Orang Mukmin yang sempurna keimanannya akan senantiasa bersabar atas kesulitan, kesedihan ,musibah, penyakit dan lainnya yang menimpanya.
- Sabar adalah ibadah yang sangat mulia. Seseorang meraih pahala dan surga dengan sabar.
- Sabar bukan berarti pasrah, tapi sabar adalah berjuang melawan hawa nafsu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .
- Tingkatan ujian dan musibah yang menimpa manusia berbeda-beda tergantung kepada kehendak Allâh Yang Maha Mengetahui, Maha Penyayang dan Maha Bijaksana.
- Peringatan untuk selalu husnuz zhann (berprasangka baik) kepada Allâh dalam takdir (ketentuan)-Nya yang pahit bagi kita.
- Terkadang seseorang tidak menyukai sesuatu padahal itu baik baginya, sebaliknya terkadang seseorang itu menyukai sesuatu padahal itu buruk baginya.
- Tanda yang menunjukkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai hamba-Nya adalah Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan ujian dan cobaan (seperti musibah dan yang lainnya) kepadanya.
- Penetapan adanya hikmah bagi Allâh Azza wa Jalla dalam perbuatan-perbuatan-Nya.
- Balasan (baik dan buruk) disesuaikan dengan amalan seseorang.
- Dorongan untuk bersabar atas musibah yang menimpa, karena bisa jadi musibah itu merupakan tanda kecintaan Allâh dan semakin besar musibah yang menimpa, maka semakin besar pula ganjarannya.
- Seluruh perkara kehidupan seorang mukmin adalah baik. Pahala untuknya di sisi Allâh sama, baik yang tampak olehnya buruk maupun baik.
MARAAJI’:
- Kutubus sittah dan kitab-kitab hadits lainnya.
- Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Salim bin ’Ied al-Hilaly.
- Syifâ-ul ‘Alîl fî Masâ-ilil Qadhâ’ wal Qadar wal Hikmah wat Ta’lîl, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. II Dâr ash-Shumai’iy, th. 1434 H.
- ‘Uddatus Shâbirîn wa Dzakhîratus Syâkirîn, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Isma’il bin Ghazi Marhaba, cet. II/Daar ‘Aalamil Fawaa`id, th. 1436 H.
- Fat-hul Majîd lisyarhi Kitâbit Tauhîd, ‘Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab, tahqiq DR. al-Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Aalu Furayyan, cet. VI, Dar Aalamil Fawaa`id, th. 1420 H.
- Al-Qaulus Sadîd fii Maqâshidit Tauhîd, oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
- Fawâ-idul Fawâ-id oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ta’liq dan takhrij oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsari, cet. Daar Ibnul Jauzi, th. 1417 H.
- Tafsîr Ibni Katsir, cet. Dâr Thaybah.
- Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya penulis, Pustaka Imam Syafi’i-Jakarta.
- Hikmah di Balik Musibah, karya penulis, Pustaka Imam Syafi’i-Jakarta.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhis Shâlihîn, I/82
[2] Syifâ-ul ‘Alîl fî Masâ-ilil Qadhâ’ wal Qadar wal Hikmah wat Ta’lîl, III/1083
[3] Lihat sebagian ayat tentang sabar: Al-Baqarah/2:45, 153-157; Ali ‘Imrân/3:142; An-Nahl/16:126-127; Luqmân/31:17; Az-Zumar/39:10; Al-Muzzammil/73:10, dan lainnya.
[4] Lihat juga al-Qur’an surat Ibrahim/14:5; Luqmân/31:31 dan Sabâ’/34:19
[5] Lihat ‘Uddatus Shâbirîn wa Dzakhîratus Syâkirîn (hlm. 205) oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tahqiq Isma’il bin Ghazi Marhaba, cet. II/Daar ‘Aalamil Fawaa`id, th. 1436 H.
[6] ‘Uddatus Shâbirîn wa Dzakhîratus Syâkirîn (hlm. 128) dan Fat-hul Majîd Syarah Kitâbit Tauhîd (II/604).
[7] Lihat al-Qaulus Sadîd fî Maqâshidit Tauhîd (hlm. 140) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
[8] Lihat Fawâ-idul Fawâ-id (hlm. 149) oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ta’liq dan takhrij oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsari, cet. Daar Ibnul Jauzi, th. 1417 H.
[9] Tafsîr Ibni Katsir (I/575), cet. Dâr Thaybah.
[10] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5660 dan Muslim, no. 2571 dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu
[11] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5641, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan Abu Sa’id Radhiyallahu anhu
[12] Kata al-washab berarti rasa sakit yang terus-menerus. Dan kata ini ada pada firman Allâh Azza wa Jalla : دُحُورًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ “…Dan bagi mereka siksaan yang kekal.” (Ash-Shâffât/37:9). Maksudnya, terus menerus. Lihat juga Syarh an-Nawawi (XVI/130).
[13] Dikatakan (menurut suatu pendapat), dengan memberikan harakat fat-hah pada huruf ya’ dan dhammah pada huruf ha’, yakni( يَهُمُّهُ ) artinya menyusahkannya. Dan ada juga yang mengatakan dengan memberikan harakat dhammah pada huruf ya’ dan fat-hah pada huruf ha’, yakni ( يُهَمُّهُ ) (Keduanya adalah benar. Lihat Syarh an-Nawawi (XVI/130)).
[14] Shahih: HR. Muslim, no. 2573 dari Sahabat Abu Sa’id Radhiyallahu anhu dan Abu Hurairah Radhiyallahun anhu .
[15] Hasan: HR. Ahmad, III/23 dan Ibnu Hibban, no. 692 – Mawârid). Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawâ-id (II/302), “Rawi-rawinya tsiqah.” Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Mawâridizh Zham-ân, no. 571
[16] Hasan shahih: HR. At-Tirmidzi, no. 2399; Ahmad, II/450; al-Hakim, I/346, IV/314 dan Ibnu Hibban (no. 697 – Mawâridizh Zham-ân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, at-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 2280 dan Shahîh Mawâridizh Zham-ân (no. 576).
[17] Shahih: HR. Al-Hakim, I/347-348 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 3393 dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 1870
[18] Shahih: HR. Muslim, no. 918 [4] dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma. Beliau Radhiyallahu anhuma berkata, “Tatkala Abu Salamah wafat, aku mengucapkan sebagaimana yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan aku, maka Allâh mengganti yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[19] Shahih: HR. Muslim, no. 2572 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[20] Shahih: HR. Abu Ya’la, no. 6069; Ibnu Hibban, no. 693—Mawârid; dan al-Hakim, I/344. Ia berkata, “Sanadnya shahih.” Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawâid, II/292, “Rawi-rawinya tsiqah.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 2599 dan Shahîh al-Mawârid, no. 572
[21] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6487 dan Muslim, no. 2822, 2823. Lafazh ini milik Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
[22] Hasan: HR. Ibnu Majah, no. 1597. Maksud hadits di atas: Apabila seorang hamba ridha dengan musibah yang menimpanya, maka Allâh ridha memberikan pahala kepadanya dengan surga.
[23] Hasan: HR. At-Tirmidzi, no. 1021 dan Ibnu Hibban, no. 726 – Mawârid dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1408
[24] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6424 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[25] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5653. Dan kata yang berada di antara dua kurung tersebut dari kitab Sunan at-Tirmidzi, no. 2401
[26] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5652 dan Muslim, no. 2576
[27] Shahih: HR. Ahmad, V/244-245, 247; Abu Dawud, no. 1522; an-Nasa-I, III/53; Ibnu Khuzaimah, no. 751; Ibnu Hibban, no. 2017, 2018–At-Ta’lîqâtul Hisân), dan al-Hakim, I/273; III/273-274) beliau menshahih-kannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu